Welcome Guest ( Log In | Register )

Bump Topic Topic Closed RSS Feed
17 Pages « < 2 3 4 5 6 > » Bottom

Outline · [ Standard ] · Linear+

 Muslim Group

views
     
abu.shofwan
post Mar 15 2016, 11:35 AM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


i actually do this (on my back) once every month or two. cant really say the benefits that i feel though (i dont actually have health complaints to actually notice). i do it because i believe it is sunnah.
and yes, it takes a few days for the marks to disappear
abu.shofwan
post Mar 18 2016, 03:21 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


another way to avoid feeling sleepy, you can also speak to the khatib - eg. ask a question
of course, you'd have to be close to the khatib to do that

Dan dikecualikan orang yang ingin berbicara dengan khatib, atau khatib yang berbicara kepada dia untuk suatu maslahah. Maka ini tidak diharamkan. Kerana Nabi ‘alahishalatu wassalam berbicara dengan Sulaik [5] ketika beliau sedang berkhutbah. Dan Sulaik pun balik berbicara kepada Nabi (HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih dari hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu). Dan Umar bin Khathab pernah bertanya kepada Utsman ketika ia sedang berkhutbah, dan Utsman menjawabnya[7]. Dan seorang lelaki pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika beliau khutbah istisqa‘ [8]. Karena ketika seseorang berbicara kepada imam dan imam membalas pembicaraannya, ia tidak termasuk lalai dari mendengarkan imam.

footnote:
[5] yaitu Sulaik Al Ghathafani
[6] HR. Ibnu Majah (114) dari hadits Abu Hurairah dan Jabir, dan Muslim dari hadits Jabir saja (875)
[7] HR. Muslim (845), Ibnu Khuzaimah (1748)
[8] HR. Al Bukhari (1013), Muslim (897)
abu.shofwan
post Mar 18 2016, 04:20 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


QUOTE(EarendurFefalas @ Mar 18 2016, 03:26 PM)
macam bukan budaya kita aje  laugh.gif
*
Fully agreed
I'd imagine the khatib will scold us if we were to ask something... Hehehe
abu.shofwan
post Mar 23 2016, 01:42 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


here's what i can find:
source: https://muslimafiyah.com/tiduristirahat-sia...dan-sunnah.html

Sunnah qailulah

Tidur siang disebutkan dalam Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ آَيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan” (Ar-Ruum :23)

Demikian juga diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

قِيْلُوا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ

“Qailulah-lah (istirahat sianglah) kalian, sesungguhnya setan-setan itu tidak pernah istirahat siang.” [6]

Demikian juga perbuatan para sahabat.

رُبَّمَا قَعَدَ عَلَى بَابِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رِجَالٌ مِنْ قُرَيْشٍ، فَإِذَا فَاءَ الْفَيْءُ قَالَ: قُوْمُوا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِلشَّيْطَانِ. ثُمَّ لاَ يَمُرُّ عَلَى أَحَدٍ إِلاَّ أَقَامَهُ

“Pernah suatu ketika ada orang-orang Quraisy yang duduk di depan pintu Ibnu Mas’ud. Ketika tengah hari, Ibnu Mas’ud mengatakan, “Bangkitlah kalian (untuk istirahat siang), Yang tertinggal hanyalah bagian untuk setan.” Kemudian tidaklah Umar melewati seorang pun kecuali menyuruhnya bangkit.”[7]
abu.shofwan
post Apr 4 2016, 09:03 AM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


Mahram Karena Penyusuan

Dengan disusukannya seorang anak (laki-laki) kepada wanita lain terjalinlah hubungan mahram antara wanita tersebut selaku ibu susu dan anak yang disusuinya (anak susu) beserta segenap keturunan dan kerabat ibu susu, sehingga haram bagi anak susu menikahi mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ
“Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah (saudara perempuan ayah) kalian, khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan….” (an-Nisa: 23)

Dalam ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala hanya menyebutkan dua golongan wanita yang haram dinikahi karena hubungan penyusuan, ibu susu dan saudara wanita sepersusuan. Adapun golongan wanita yang lain seperti anak perempuan karena susuan, bibi susu (saudara perempuannya ibu susu/khalah dan saudara perempuannya ayah susu/amah), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) juga haram dinikahi dengan bersandar pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ []7

“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).”[8] (HR. al-Bukhari no. 5099 dan Muslim no. 1444)

Dengan demikian, ibu susu,[9] saudara perempuan sepersusuan, anak perempuan susu,[10] saudara perempuannya ibu susu (bibi/khalah susu), saudara perempuannya ayah susu (bibi/amah susu), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan (keponakan susu)[11] dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) merupakan mahram bagi seorang laki-laki.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Setiap wanita yang haram (dinikahi) karena hubungan nasab maka diharamkan pula yang semisalnya karena hubungan penyusuan. Mereka adalah para ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, amah, khalah, keponakan perempuan dari saudara laki-laki, dan dari saudara perempuan dengan bentuk yang telah kami jelaskan dalam masalah nasab, berdalilkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
abu.shofwan
post Apr 5 2016, 08:01 AM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


Sedangkan meminum susu isteri sendiri tidaklah termasuk perkara yang diharamkan. Tidak ada dalil yang melarang hal itu. Namun permasalahan ini memunculkan permasalahan lain, yaitu jika seorang suami meminum susu istrinya apakah persusuan itu berpengaruh, sehingga sang suami menjadi anak persusuan dari istrinya? [2] Coba perhatikan atsar dan hadits berikut:

عَنِ ابْنٍ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّ رَجُلا كَانَ مَعَهُ امْرَأَتُهُ وَهُوَ فِي سَفَرٍ فَوَلَدَتْ فَجَعَلَ الصَّبِيُّ لا يَمُصُّ فَأَخَذَ زَوْجُهَا يَمُصُّ لَبَنَهَا وَيَمُجُّهُ حَتَّى وَجَدَ طَعْمَ لَبَنِهَا فِي حَلْقِهِ فَأَتَى أَبَا مُوسَى فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ ” حُرِّمَتْ عَلَيْكَ امْرَأَتُكَ ” , فَأَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ فَقَالَ: أَنْتَ الَّذِي تُفْتِي هَذَا بِكَذَا وَكَذَا وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لاَ رَضَاعَ إِلاَّ مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ “؟

Seorang putera Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa seorang suami membawa isterinya dalam sebuah perjalanan, dan isterinya melahirkan. Si bayi tidak mau menyusu, maka sang suami menyedot susu isterinya dan memberikannya untuk si bayi, hingga ia mendapatkan ada rasa susu di tenggorokannya. Dia lalu datang dan bertanya kepada Abu Musa al-Asy’ari, maka Abu Musa mengatakan, “Isterimu menjadi haram atas dirimu.” Kemudian sang suami datang kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah berkata kepada Abu Musa, “Engkau yang berfatwa demikian, sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Persusuan tidak berpengaruh kecuali jika menguatkan tulang dan menumbuhkan daging’ ? [HR. al-Baihaqi no. 15.653, dihukumi dha’if oleh al-Albani]

Maksudnya, persusuan hanya berpengaruh jika dilakukan saat anak masih kecil dan membutuhkan susu. Kelemahan atsar ini tidak berpengaruh pada permasalahan kita, karena tidak ada dalil yang mengharamkan suami meminum susu isterinya. Sedangkan tidak berpengaruhnya persusuan di atas umur dua tahun di dukung oleh banyak dalil lain.[3]

Kesimpulannya, boleh bagi suami untuk meminum susu isterinya, dan jika itu dilakukan, isterinya tetap menjadi isteri yang sah dan halal baginya.

Wallahu A’lam.
abu.shofwan
post Apr 12 2016, 02:02 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


It is not permissible to buy stolen goods – even if they were stolen from kaafirs. This is property that is haraam in and of itself, because it is not permissible for anyone to take possession of it, even if that is by a legitimate means such as buying it, being given it as a gift or inheriting it.

What the one who knows that what he wants to buy is stolen should do is denounce the thief and tell him to repent from stealing, and to return the goods to their owner. He should try to return the goods to their owner if possible and if he knows who they are, or he should tell them where the stolen goods are, or tell the authorities about that.

The one who buys something knowing that it is stolen is sinning, and part of his repentance is returning it to its owner and returning its price to the one to whom he sold it.

Buying from the thief is helping him in sin and transgression, and is encouraging the thief to carry on with what he is doing as well as failing to denounce evil. One of the conditions of a sale being valid is that the seller should be the owner of what he is selling. If he is a thief then he is not the owner, which implies that the transaction is not valid.

source: https://islamqa.info/en/93031
abu.shofwan
post Apr 12 2016, 02:12 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


follow up to previous post...

Praise be to Allaah.

Firstly:

Haraam wealth is of two types: that which is haraam in and of itself, such as wealth that has been stolen or seized by force. It is not permissible to accept this from anyone, because it must be returned to its owner.

(The second type is) that which is haraam because of the way in which it has been acquired, such as money that is taken by means of dealing in riba or doing haraam actions, such as bribes, cheating and payments for singing and dancing. That also includes what you have mentioned of working as a sound engineer for haraam movies and soap operas. This wealth which is haraam because of the way in which it was acquired is haraam only for the one who acquires it. As for the one who takes it from him by permissible means, there is nothing wrong with that, although it is better to refrain from taking it and to err on the side of caution and not benefit from it, especially if not taking it will affect its original owner and make him give up this work.

It was narrated in a saheeh report from ‘Abd-Allaah ibn Mas’ood (may Allaah be pleased with him) that he was asked about a person who had a neighbour who consumed riba and invited him to eat with him.

He said: Accept his invitation, for the pleasure will be yours and the burden of sin will be his. End quote. Jaami’ al-‘Uloom wa’l-Hukam (71).

Shaykh Ibn ‘Uthaymeen (Allaah have mercy on him) was asked: A man knows that the source of his father's wealth is haraam; can he eat his father’s food? If he does not eat his father's food, is that considered disobedience to his father?

He replied: With regard to the man who knows that his father's wealth is haraam, if it is haraam in and of itself, in the sense that he knows that his father stole this money from someone, then it is not permissible to eat it. If you know that your father stole this sheep and slaughtered it, then do not eat and do not accept his invitation. But if it is haraam because of the way in which it was acquired, such as if he deals with riba or cheats and so on, then eat, and the sin is on him.

source:
https://islamqa.info/en/126486
abu.shofwan
post Apr 12 2016, 02:24 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


what type of digital files are we talking about? (maybe that would help me google it smile.gif )
abu.shofwan
post Apr 12 2016, 03:30 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


i found this:
https://islamqa.info/en/102352
it's a bit long to paste here and it discusses the islamic ruling only - not touching whether or not it's illegal at law (such as IP laws, general/common law, etc.)

TLDR version as I understand it - pls check the source to read full details:
2 general rules apply:
1. If it's free (i.e. the owner/publisher/creator or whatever is applicable, says that it's free to use, copy, distribute, etc.) then it's ok.
2. If it's not, then it is not ok.

again, this is from islamic ruling perspective. it may still be illegal in the face of our country's law.

suggest you read the source material, there is an interesting explanation towards the end.
also, if anyone finds other sources, please do share. often we can't just rely on one source only.
abu.shofwan
post Apr 13 2016, 11:27 AM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


QUOTE(haziqk10 @ Apr 13 2016, 11:13 AM)
What about this?


*
Can summarize? Kenot access jewtube during office hrs.

abu.shofwan
post Apr 13 2016, 11:49 AM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


Kafir Harbi is kafir people whom we are at war with, no? The conditions of being "at war" itself lays the ground for different sets of rules to be applied, as compared with normal circumstances.

And that is all I have to say about that, since I ain't no scholar.
abu.shofwan
post Apr 21 2016, 01:05 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


got this forwarded to me. what you guys think?
i believe this Indonesian ustadz is quite famous - or basically he's the go-to guy there - for Islamic economy topics. I haven't really read his writings, though.

Source :
ETA [Erwandi Tarmizi & Associates]

# Pertanyaan :
الســـلامـ عليكــــمـ ورحمة الله وبركــــاته
Apakah betul ini secara hukum islam ada zakat profesi, Ustadz?
Terimakasih...
# Jawaban
وعليكم السلام ورحمة اللّه و بركاته
Dalam pandangan Islam (bahwa, pent) zakat profesi (bagi orang yang mengatakan ada zakat profesi) mereka pun mengetahui bahwa tidak familiar/ tidak pernah ada dalam referensi para ulama kita pada masa dahulu, padahal profesi pada masa dahulu (juga, pent) ada. Dan jangan katakan bahwa profesi pada masa itu gajinya sedikit, (jawabannya, pent) tidak.
Bukankah ada orang yang membayarkan (yaitu, pent) orang yang meminta ketika sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam meminta untuk merukiyah seorang kepala suku dia mengatakan : "Saya akan merukiyah dengan syarat kambing untuk kami dalam jumlah sekian" kemudian dia bacakan Al Fatihah, sembuh orang tersebut, dia mendapatkan kambing dalam jumlah yang besar sehingga cukup untuk para sahabatnya tersebut,dan bahkan pun diberikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam.
Bukankah ini profesi? Dan bukankah ini hasil dari upah pekerjaan? Ada kan?!
Dan Rasulullah pun tidak mengatakan ada zakatnya, (maka, pent) jangan tambahkan. Rasulullah shallallahu ' alaihi wasallam saja ketika ditanya tentang (zakatul khail / zakat kuda) beliau mengatakan
لا الزم علي شيع
(dalam hal ini belum turun kewajibannya)
Tapi, bila Anda melakukan, Allah mengatakan
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
(barang siapa yang melakukan satu kebaikan sekecil apapun juga maka Allah akan memberikan pahala dan mereka akan melihat pahalanya). Rasulullah tidak berani menambahkan, padahal kuda juga hewan ternak, (bahkan, pent) lebih mahal daripada kambing. Rasulullah tidak berani menambahkan, apakah Anda berani menambahkan?!
Tidak ada.
Dan, buktinya tidak ada (ialah, pent) muktamar zakat pertama sedunia Islam yang dihadiri oleh para ulama utusan dari 25 negara, pada 19 Rajab sampai awal Sya'ban bertempat di Kuwait pada tahun 1484H atau sekitar tahun 1984, disana hasil muktamar tersebut merekomendasikan bahwasanya
ليس ف الميزانزكاثٌ
"Tidak ada zakat profesi itu" menurut mayoritas ulama yang hadir, kecuali sebagian kecil dan dia pun mensyaratkan persyaratan yang tidak mungkin terpenuhi secara umum bagi profesi di Indonesia.
Dr. Al Qardawi mengatakan ada zakat profesi, tetapi beliau juga mengatakan harus sampai nisab gajinya. Berapa 1 nisab itu? 85 gram kalo menurut beliau. Berapa berarti? sekitar 43 juta, baru kemudian ada zakat profesi.
Kalau Anda menerima gaji 43 juta, itu menurut beliau baru ada zakat profesi. Itupun menurut beliau, (zakatnya dikeluarkan, pent) setelah dikeluarkan kebutuhan minimal dia untuk bulan depan itu karena gaji baru terima kan, belum tahu kebutuhannya, kemudian juga (salimun minal dayn) terlepas dari hutang.
Maka, apa yang diterapkan oleh lembaga di Indonesia, profesi dengan cara yang luar biasa mengada-ada, dengan gaji 3.5 juta sudah ditarik (zakat profesinya, pent).
Orang dengan gaji 3.5 juta belum tentu (ia, pent) kaya. Belum lagi hidup di kota besar, gaji 3.5 juta itu, untuk kontrakan saja sudah 1 juta per bulan umpamanya, atau lebih. Makan dia dengan istrinya sudah berapa. Kemudian dia memiliki anak lima umpamanya, berapa kebutuhan dia. Dia fakir miskin itu.
Lalu kenapa ditarik zakat dari dia?
Anda akan bertanggungjawab dihadapan Allah subhanahu wata'ala mengada-adakan ini dan mengambil zakat dari fakir miskin.
Karena Dr Al Qardawi-pun dalam fiqih zakatnya, tidak mengatakan demikian cara menarik zakat profesi itu. Kalau gaji 43 juta itu baru namanya kaya menurut beliau. Itupun dikatakan oleh mayoritas para ulama, tidak seperti itu cara menarik zakat profesi. Tapi digabungkan dengan gaji yang lain dalam satu tahun, kemudian baru dizakatkan.
Wabillahi taufiq...
Ditranskip oleh : Team Transkip BiAS & ETA
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
➡️ Join Channel : http://bit.ly/BimbinganMuamalahMaaliyah
abu.shofwan
post Apr 21 2016, 01:56 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


43 juta is around 13k (nett) right?
So people in /k already qualify smile.gif
abu.shofwan
post Apr 27 2016, 09:36 AM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


Editing note
I thought I had posted this here... Turns out it was a different thread...
If you (and I mean you alone, no other potential masbuk with u) enter the masjid and see the jamaah sitting on the last tahiyat
Should we join immediately or do we wait until imam says salaam in order to start a new jamaah (with one of the masbuk as new imam, I mean)?
Sometimes (ok, actually almost all the time) I see brader2 tu rushing2 join jamaah. But then I consider, if someone ask u how many rakaat u pray with the imam/jamaah, the answer would be zero, zilch, nil, sifar (since if u don't get to do rukuk with the imam consider you missed out on the rakaat). So, if we prayed zero rakaat, isn't it like we didn't pray with the jamaah? Then better to wait and start a new one, no?

abu.shofwan
post Apr 28 2016, 09:11 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menghilangkan bulu atau rambut di tangan dan kaki.
Jawaban beliau, “Jika bulu-bulu tersebut terlalu lebat maka boleh dihilangkan karena bulu-bulu tersebut menyebabkan buruknya penampilan. Namun jika normal maka ada ulama yang berpendapat tidak boleh dihilangkan karena menghilangkannya termasuk merubah ciptaan Alloh. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa bulu-bulu tersebut boleh dihilangkan karena Alloh tidak menegaskan hukum khusus untuknya. Sedangkan Nabi bersabda,
وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ
“Dan semua yang Alloh diamkan maka itu adalah kemudahan dariNya” (HR Abu Daud no 3800 dari Ibnu Abbas).(Lihat Fatawa al Mar’ah al Muslimah yang dikumpulkan oleh Asyraf bin Abdul Maqshud 2/548, cetakan Maktabah Adh-wa al Salaf).
abu.shofwan
post May 6 2016, 06:14 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


QUOTE(EarendurFefalas @ May 6 2016, 06:02 PM)
nak tanya, hukum ucap merikerismas dekat orang keristian jakim kata harus
tapi kalau dekat ofis ada gift exchange camne pulak?
*
Harus ke haram?
If haram, then gift exchange lagi la tak boleh.
abu.shofwan
post May 7 2016, 08:02 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


QUOTE(EarendurFefalas @ May 7 2016, 07:53 PM)
lol, harus tu buat bule, takbuat pun boleh
*
Honestly, I thought harus means wajib
abu.shofwan
post May 8 2016, 01:13 AM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


Important to note
The principle ruling of ibadah is haram, until there is dalil that changes the status
On the contrary, worldly matters (or you can say, things that are not an ibadah or part of the religion) are halal, until there is fail that changes it
Example:
Fasting for a whole month in Ramadhan was only allowed (and even made as one of the pillars of Islam) when there was instruction. Similarly, the five daily prayers was not recognized until the even if Isra mi'raj...
On the other hand
khamr was not made haram until there is the ayat in the Quran that forbids it (in stages, too).
There are other examples that demonstrate these principles, of course.
Disclaimer : the above words are how I understand them, or how I would explain them. Scholars would have much more comprehensive words (not to mention more correct, too)
abu.shofwan
post May 9 2016, 08:00 PM

Regular
******
Senior Member
1,455 posts

Joined: Jan 2015
From: Qatar


QUOTE(seiferalmercy @ May 9 2016, 07:19 PM)
kalau taubat, azab kubur pun boleh lepas ke?
*
Assuming your repentance is accepted, then the sin that you repented from will not cause u to suffer such punishment. Other sins, though, might still bring punishment
Edited to add
The sin also must be between you and Allah. If it involves inter-human interaction, then there maybe other steps that you must do.

This post has been edited by abu.shofwan: May 9 2016, 08:03 PM

17 Pages « < 2 3 4 5 6 > » Top
Topic ClosedOptions
 

Change to:
| Lo-Fi Version
0.1156sec    0.35    7 queries    GZIP Disabled
Time is now: 2nd December 2025 - 02:40 AM