QUOTE(EarendurFefalas @ Jan 31 2017, 03:24 PM)
tapi masjid as-salam dekat puchong rilek aje
literally dalam masjid = ??
dalam kawasan tetapi diluar masjid (eg: parking dalam) = ??
luar bersebelahan masjid (eg: parking luar) = ??
hence my opening remarks of "little known" - also, it may stem from the following belief, i.e. that some people believe it is not makruh, or that some ahli ilmu permits trade in the masjid. however, please note the argument against this belief.
[start quote]
Sebagian murid asy-Syafi’i berpendapat bahwa jual-beli di mesjid tidak makruh. Hadits-hadits tadi membantah mereka. Sedangkan murid-murid Abu Hanifah membedakan, bahwa jual-beli yang ramai itu dibenci, sedangkan yang tidak ramai itu tidak dibenci. Pembedaan ini tidak ada dalilnya. (Nailul Authar: 2/455, no. Hadits 641)
Imam Tirmidzi berkata, “Sebagian ahli ilmi membolehkan jual-beli di mesjid.”
Al-Allamah Mubarakfuri, dalam syarahnya, berkata, “Saya tidak mendapatkan dalil yang menunjukkan demikian. Bahkan hadits-hadits bab merupakan hujjah (membantah) orang yang membolehkan.” (Tuhfatul Ahwadzi)
Sumber:
https://konsultasisyariah.com/2030-jual-beli-di-masjid.html[end quote]
with regards to the kawasan parking and what not, there are several literature (can't remember whether it was hadeeth or atsar sahabat) that point to the immediate surrounding area to be included in this ruling. however, if there is a physical limit/boundary, such as a public wall (i.e. not the wall of the masjid itself laa), road, river, fence etc. then anything outside that would be considered external and therefore excluded from this ruling - even if such area/land belongs to the masjid. for example, the land which "belongs" to the masjid is 20000 ft2, where some of it lies across the road - then that area across the road is permissible for trades.
Quoted from one of the articles I read:
[start quote]
Hal ini karena para ulama telah menggariskan satu kaidah yang menyatakan,
الْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيْمٌ لَهُ
“Sekelilingnya sesuatu memliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu tersebut.” (Al-Asybah wan Nazha’ir: 240, as-Suyuthi).
Kaidah ini disarikan oleh para ulama ahli fikih dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu nyata, dan yang haram pun nyata. Sedangkan antara keduanya (halal dan haram) terdapat hal-hal yang diragukan (syubhat) yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka barangsiapa menghindari syubhat, berarti ia telah menjaga keutuhan agama dan kehormatannya. Sedangkan barangsiapa yang terjatuh ke dalam hal-hal syubhat, niscaya ia terjatuh ke dalam hal haram. Perumpamaannya bagaikan seorang penggembala yang menggembala (gembalaannya) di sekitar wilayah terlarang (hutan lindung), tak lama lagi gembalaannya akan memasuki wilayah itu. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki wilayah terlarang. Ketahuilah, bahwa wilayah terlarang Allah adalah hal-hal yang Dia haramkan.” (HR. al-Bukhari, no. 52 dan Muslim, no. 1599).
Sumber:
https://konsultasisyariah.com/3237-hukum-ju...ras-masjid.html[end quote]