Nikah Tahlil.
Yaitu menikahi wanita yang telah ditalak tiga setelah berakhirnya masa ‘iddahnya kemudian menceraikannya kembali untuk diberikan kepada suaminya yang pertama. Ini adalah salah satu dosa besar dan perbuatan keji yang Allah melarangnya dan melaknat pelakunya, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil dan muhallal lahu.”[*] [40]
Arti muhallil berasal dari tahlil, yakni orang yang menikahi wanita yang ditalak tiga dengan niat untuk diceraikannya setelah menyetubuhinya agar orang yang mentalak tiga tersebut dapat menikahinya kembali.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang melakukan perbuatan ini dengan rusa yang dipinjamkan. Sebagaimana Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang rusa yang dipinjamkan?” Mereka menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Ia adalah muhallil, semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.”[41]
Pendapat-Pendapat Ulama :
At-Tirmidzi rahimahullah berkata: “Pengamalan atas hal ini dilakukan para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya adalah ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin ‘Umar dan selainnya, serta ini pun adalah pendapat fuqaha dan Tabi’in.[42]
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Pernikahan muhallil, yang diriwayatkan bahwa Rasulullah melaknatnya, bagi kami -wallaahu a’lam- sama halnya dengan nikah mut’ah, karena pernikahan ini tidak mutlak, jika disyaratkan agar menikahinya hingga melakukan persetubuhan. Pada dasarnya, dia melakukan akad nikah terhadapnya hingga dia menyetubuhinya. Jika dia telah menyetubuhinya, maka selesailah status pernikahannya dengan wanita tersebut.”[43]
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa secara keseluruhan, pernikahan muhallil adalah haram lagi bathil menurut pendapat semua ahli ilmu, baik wali mengatakan: “Aku menikahkanmu dengannya hingga kamu menyetubuhinya,” maupun mensyaratkan bila telah menggaulinya, maka tiada pernikahan di antara keduanya, atau bila telah menggaulinya untuk pertama kalinya maka dia harus menceraikannya. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa pernikahan tersebut sah tetapi syaratnya tidak sah.
Asy-Syafi’i berkata: “Kedua bentuk yang pertama tidaklah sah, sedangkan untuk yang ketiga terdapat dua pendapat.
Ibnu Mas’ud berkata “Muhallil dan muhallal lahu dilaknat melalui lisan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mempunyai riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.'”[44]
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata ketika beliau berkhutbah: “Demi Allah, tidaklah dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lahu melainkan aku merajam keduanya. Sebab, keduanya adalah pezina.” Dan karena pernikahan hingga suatu masa, atau di dalamnya terdapat syarat yang menghalangi kelangsungan pernikahan tersebut, maka ini serupa dengan nikah mut’ah.
Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seorang pria bertanya kepadanya: “Aku menikahi seorang wanita untuk menghalalkannya bagi (mantan) suaminya, sedangkan dia tidak menyuruhku dan dia tidak tahu.” Ia menjawab: “Tidak boleh, kecuali pernikahan karena keinginan (yang wajar); jika mengagum-kanmu, pertahankanlah dan jika kamu tidak suka, ceraikanlah. Sesungguhnya kami menganggapnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai perzinaan.”[45]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang berucap: “Jika wanita yang dicerai telah disetubuhi seseorang (yang menikahinya) pada duburnya, maka dia halal untuk suaminya; apakah ini benar ataukah tidak?”
Beliau menjawab: “Ini adalah ucapan bathil, menyelisihi pen-dapat para Imam kaum muslimin yang masyhur dan para Imam kaum muslimin lainnya. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita yang ditalak tiga (kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama.-ed.):
لاَ حَتَّى تَذُوْقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ.
‘Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan dia merasakan madumu.’[46]
Ini adalah nash (teks) tentang keharusan merasakan madu masing-masing dan ini tidak terjadi dengan (cara menyetubuhi) dubur. Tidak diketahui adanya pendapat yang menyelisihi hal ini. Pendapat tersebut adalah pendapat aneh yang diselisihi oleh Sunnah yang shahih, lagi pula telah ada ijma’ sebelumnya dan sesudahnya.”[47]
Beliau juga ditanya tentang tahlil yang dilakukan manusia pada hari ini: “Jika terjadi pada apa yang mereka lakukan berupa pemberian hak, kesaksian, dan siasat-siasat lainnya; apakah itu sah ataukah tidak?”
Beliau menjawab: “Tahlil yang mereka sepakati bersama suami -baik lafal maupun kebiasaan- agar menceraikan wanita itu, atau suami meniatkan demikian adalah diharamkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat-nya.
Sumber: https://almanhaj.or.id/3562-pernikahan-yang...masa-iddah.html
Muslim Group